Energi surya itu gratis, tidak perlu bayar, semua
orang dapat mengaksesnya tanpa perlu merogoh kocek sekedar –misal-
menjemur pakaian atau ikan asin. Bisa dikatakan, tidak ada sudut di
muka bumi ini yang tidak tersentuh sinar matahari. Bahkan sejatinya,
ummat manusia pun tidak pernah meminta kepada Tuhan untuk dibuatkan
matahari yang sinarnya sangat menentukan kehidupan di bumi, well,
begitu kira-kira salah satu ustadz pernah berbicara di sebuah
kesempatan pengajian. Dengan energi yang setara dengan 4 kilo-Watt hour
(kWh)/meter persegi/tahun, sinar matahari ini merupakan sebuah potensi
yang sangat manis apabila termanfaatkan tidak sekedar untuk menjemur
ikan asin tentunya. Tentu saja persoalan menjadi lain manakala
dibutuhkan sebuah perangkat untuk memanfaatkan energi surya tersebut,
yang tentu saja tidak gratis.
“Saya
sangat tertarik dgn pengadaan listrik tenaga surya, namun saya baca
artikel-artikel di internet, harga panel surya mahal sekali, utk
membangkitkan 1000 watt butuh dana kurang lebih 100 jutaan. Kebetulan
juga saya tinggal di khatulistiwa, jadi sangat berguna dan tepat .
Yang
ingin saya tanyakan, apakah Putra-putri bangsa ini tidak bisa bikin
panel surya yang murah, seperti internet dari kaleng susu bekas, yang
murah meriah. Lalu apa faktor yang menyebabkan panel surya mahal,
apakah harus diimpor dari luar negeri? “
(Dari Sdr. Eddie, Dec 15, 2007 1:27 PM)
“Bp/Ibu Yth.
Saya sangat tertarik dengan energi surya terutama untuk perluan rumah
tangga. Apakah bapak/ibu bisa menjelaskan ke saya hitung2an secara
ekonomi untuk penyedia Listrik Surya setara dengan Daya Listrik PLN
1300 watt ? mohon pencerahannya”
Terima kasih
(Dari Sdr. Danang Sri Hadmoko, Dec 20, 2007 2:12 PM)
Email Sdr. Eddie dan Sdr. Danang melalui kolom
Konsultasi
di Blog ini saya ambil sebagai sebuah sampel dari banyaknya pertanyaan
yang dikirimkan ke saya berkaitan dengan berapa biaya yang perlu
dikeluarkan untuk penerapan sel surya di perumahan, atau singkatnya,
berapa harga sel surya secara umum. Baru kali ini saya berkesempatan
menulis sebuah topik khusus mengenai harga ‘barang baru’ ini.
Tulisan ini ditujukan
untuk sediit banyak mengupas harga sel surya dengan memprioritaskan
pada sel surya Silikon untuk aplikasi perumahan meski tidak menutup
kemungkinan juga mendeskripsikan harga sel surya secara umum dan
sebab-sebab apa yang mempengaruhi harga sel surya.
Dihadapkan pada
sumber energi konvensional, sel surya sebagai sumber energi alternatif
ini tidak akan dapat bersaing secara langsung tanpa adanya dukungan
banyak faktor. Di sisi lain, terjangkaunya energi konvensional sendiri
tidak lepas dari turut campurnya negara dalam mengontrol harga agar
tidak terlalu mahal dan terjangkau, sebagai contoh, adanya subsidi BBM
atau tarif dasar listrik (TDL) yang dihasilkan dari PLT Diesel di
Indonesia.
Hal yang sama tidak
ditemui pada energi terbaharukan, atau jika ada, tidaklah sebesar
dukungan negara pada bahan bakar konvesional semisal minyak, baik
dukungan ekonomi maupun politik. Dukungan kebijakan negara pada
pengembangan sel surya di negara-negara maju (OECD) sudah dirasakan
cukup mapan dengan salah satu alasan untuk mengurangi emisi CO2
sebagai salah satu kesepakatan Protokol Kyoto. Namun di sisi lain,
terdapat ketimpangan kebijakan yang sangat besar di negara-negara
berkembang seperti di Indonesia yang belum memiliki langkah serupa
untuk mendukung pemasaran sel surya.
Jadi, bila kita
mencoba menakar harga sel surya dan terasa bahwa sel surya itu begitu
mahal apabila setelah mencoba membandingkannya dengan sumber energi
lain yang sudah ada, sebenarnya kurang terasa tepat karena sel surya
tidak berada pada kondisi obyektif yang sama, yakni tidak disubsidi
atau tidak memperoleh pertolongan yang sama dari negara. Alias, seluruh
harga sel surya dan komponennya musti ditangung sendiri oleh konsumen.
Secara umum, dapat
saya katakan bahwa tantangan peneliti dan pengembang sel surya di
seluruh dunia dihadapkan pada dua hal utama; (1) meningkatkan efisiensi
sel surya semaksimal mungkin, dan (2) menurunkan harga sel surya.
Tantangan ini tidak
hanya berlaku di Indonesia saja, melainkan juga di negara-negara
pelopor jenis teknologi energi terbaharukan ini. Tantangan efisiensi
dipenuhi dengan
aktifitas riset dan pengembangan yang
tidak kunjung henti di masing masing jenis sel surya. Terdapat
kecenderungan bahwa sel surya mengalami peningkatan efisiensi pada
skala laboratorium, namun masih menemui kendala serius ketika
dipasarkan dalam bentuk yang lebih besar, yakni modul dan panel surya.
Cara lain ialah dengan menggunakan material yang lebih murah, lebih
tipis dari sel surya yang dipasarkan saat ini dan sebagainya.
Sedangkan, tantangan
kedua, untuk jangka pendek dicapai dengan penerapan kebijakan
pemerintah masing-masing negara yang bertujuan untuk menekan harga sel
surya sehingga terjangkau. Selain itu juga dipenuhi dengan meningkatkan
jumlah volume produksi sel surya dunia atau memperbesar ukuran sel
surya (tepatnya modul surya) sebagaimana diperlihatkan di bawah ini
harga beberapa jenis sel surya utama yang tengah dipasarkan di
negara-negara pelopor teknologi ini yakni Amerika, Jerman dan Jepang,
sehinga harga sel surya pun dapat ditekan. Saat ini, harga sebuah sel
surya internasional ada pada kisaran US$ 4-5/Watt untuk sel surya jenis
poli-Silikon yang menempati pangsa pasar lebih dari 90%.
Lantas apa yang membuat sel surya terbilang mahal saat ini?
Di bawah ini ialah
paparan singkat mengenai hal-hal umum yang turut berkontribusi pada
harga sel surya yang pada akhirnya dibebani kepada konsumen.
1. Biaya produksi pembuatan sel surya.
Jika kita melihat proses pembuatan sel surya dengan mengambil contoh
sel surya silikon yang menempati 90% pangsa pasar sel surya saat ini, maka terlihat adanya proses produksi yang melibatkan modal besar (
high capital),
yakni industri semikonduktor. Industri semikonduktor ini masih
merupakan industri padat modal karena bersandar pada pembuatan dan
penyediaan silikon, lebih tepatnya wafer silikon. Sejatinya, silikon
sendiri ialah elemen terbanyak kedua di kulit bumi setelah oksigen,
sehingga harganya relatif rendah.
Hanya saja, dengan
kebutuhan industri semikonduktor yang meminta kadar kemurnian silikon
sangat tinggi, sekitar 1 bagian per milyar (1 ppb), biaya pemrosesan
silikon untuk semikonduktor menjadi berlipat-lipat. Proses pembuatan
silikon sejak dari penambangan, pemurnian dan pemotongan inilah yang
memilki andil sekitar 65% dari total harga sebuah sel surya. Data tahun
2004 mengenai harga silikon dunia dengan kadar tersebut kira-kira US$
50/kg dan terus meningkat dikarenakan adanya permintaan industri
semikonduktor maupun elektronik. Pemrosesan seperti
pembuatan sel dan enkapsulasi sel surya masing-masing menyumbang 10 dan 25% dari total harga sel surya.
Secara kasar, saat
ini, harga sebuah sel surya sekitar US$ 4-5/Watt, belum termasuk
pendukungnya. Sehingga jika seorang konsumen hendak membeli sel surya
dengan daya 50 Watt, maka perlu menganggarkan biaya sekitar US$ 200-250
(lihat tabel di akhir tulisan).
Agak sedikit melebar,
lantas, bisakah kita membuat industri sel surya sendiri agar sel surya
bisa lebih mudah terjangkau di pasar sendiri?
Pada dasarnya tentu saja hal ini sangat mungkin dengan beberapa catatan menurut opini saya.
Pertama,
pembuatan silikon untuk sel surya atau semikonduktor ialah sebuah usaha
padat modal yang sangat besar dari segi investasi. Dan tidak semua
negara di dunia yang mampu secara teknologi melakoni pekerjaan besar
ini, hanya beberapa negara saja yang mampu membuat silikon dengan kadar
yang dibutuhkan maupun wafer silikon, semisal, Amerika, Jerman, Jepang
dan Korea. Selain itu, industri pembuatan silikon berkadar tinggi
maupun pembuatan wafer silikon ini juga menyedot tenaga listrik yang
cukup besar. Namun mengingat bahan dasar silikon seperti pasir silika
ini mudah ditermui di Indonesia (
lihat kutipan berita Kompas di Blog ini) , dengan dukungan investor dan pemerintah, saya kira kita cukup mampu dalam hal ini.
Masak calon PLTN Muria yang heboh 80 trilyun saja kita menyanggupi, membuat sebuah pabrik wafer silikon saja kurang mampu?
Kedua, jika
dalam jangka pendek tujuannya ialah memasarkan sel surya sebanyak
mungkin, maka kita perlu meniru langkah China dalam memasarkan sel
surya di negaranya. Industri-industri China tidak membuat material
dasar silikon untuk sel surya ini. Mereka juga tidak memiliki kemampuan
dalam membuat mesin-mesin yang dipergunakan pabrik-pabrik mereka untuk
membuat sel surya dalam skala besar.
Hanya saja, strategi
mereka ialah, mengimpor mesin-mesin pabrik dari Jerman sebagai bahagian
dari investasi, serta mengimpor material silikon khusus untuk sel surya
dari negaa-negara lain semisal, Jerman, Jepang dan Korea Selatan.
Keunggulan komparatif upah pekerja yang murah, membuat sel-sel surya made in China
saat ini merajai pasaran sel surya Eropa selain menjadi tuan rumah di
negara sendiri. Hal ini saya saksikan sendiri dalam ajang PVSEC-15 di
Shanghai, China. Mungkin strategi ini dalam jangka pendek bisa
diterapkan di Indonesia. Namun kembali lagi, kita masih menunggu peran
investor dan negara dalam hal ini.
2. Biaya perangkat dan pelayanan pendukung.
Memanfaatkan sel surya untuk keperluan apapun membutuhkan perangkat pendukung yang disebut Balance of System
(BOS) yang biasanya terdiri atas baterei, inverter, biaya pemasangan
serta infrasturktur (lihat gambar berikut). Di sini peran BOS sangat
penting sehinga semua ini (Sel surya + BOS) disebut dengan sistem
fotovoltaik. Baterei serta pegontrolnya diperlukan untuk meyimpan
tenaga listrik untuk pemakaian di malam hari jika diperlukan. Inverter
dibutuhkan untuk mengubah keluaran sel surya yang berarus DC menjadi AC
sesuai dengan keperluan perumahan. Dan instalasi diperlukan untuk
menyelaraskan bentuk (atap) rumah dengan berapa luas sel surya atau
daya yang dibutuhkan agar optimal.
Gambar di bawah ini
sedikit menggambarkan berapa porsi anggaran yang dibutuhkan pada saat
pemasangan dan perbandingannya pada 20 tahun kemudian. Asumsi memakai
1300 Watt menggunakan baterei 35 Ah. Literatur ini menggunakan negara
Meksiko sebagai contohnya.
Di sana terlihat
bahwa komponen baterei yang memiliki masa pakai optimum yang terbatas
(sekitar 4 tahun), memerlukan perhatian khusus terutama karena adanya
penambahan biaya ekstra untuk penggantian baterei baru.
Secara perhitungan
kasar, harga Sel surya + BOS ini mencapai US$ 8-10/Watt. Sehingga jika
hendak menggunakan sel surya di perumahan lengkap dengan sarana
pendukungnya untuk 1300 Watt atau 1.3 kW, maka biaya kasar yang perlu
diperlukan kira-kira 1300 Watt x (US$ 8 – 10) = US$ 10.400 – 13.000
atau jika di-rupiah-kan sekitar Rp 98.880.000 – 117.000.000 dengan masa
pakai 20 tahun lebih dan biaya tambahan untuk penggantian baterei per
4-5 tahun sekali.
Tabel di bawah
merupakan simulasi perhitungan biaya yang diperlukan untuk memasang sel
surya di sebuah rumah dengan kapasitas daya terpasang sebesar 50 Watt.
Jika hendak memasang sel surya di rumah dengan daya 1000 Watt mirip
dengan rata-rata daya terpasang pada rumah di Indonesia dari PLN, maka
harga total tinggal dikalikan saja dengan 20.
Semoga bermanfaat.
Rujukan :
Antonio Luque and Steven Hegedus, Handbook of Photovoltaic Science and Engineering, John Wiley and Sons, 2003.
Yasuto Maruoka, Cost
effectiveness of solar modules on the international photovoltaic
markets, Proceedings of 17th International Photovoltaic Science and
Engineering Conference, Fukuoka, Japan, December 2-7, 2007.