Home birth artinya persalinan yang
dilakukan di rumah, bukan di rumah sakit, bukan di rumah bersalin atau
di tempat praktek bu bidan. Di Indonesia masih banyak home birth apalagi
di pedesaan dimana di daerah itu untuk pergi ke RS atau ke tempat
pelayanan kesehatan sulit. Biasanya bidan atau dukun di panggil untuk
membantu pertolongan persalinan. Nah biasanya metode yang digunakan
adalah persalinan alami. Tentu saja begitu karena biasanya yang menolong
adalah bidan dan dukun, bagaimana caranya mereka akan berusaha
mengupayanan proses persalinan berlangsung sealami mungkin.
Di Negara berkembang , di mana perempuan
mungkin tidak mampu membayar biaya perawatan medis atau tidak dapat
mengaksesnya, melahirkan di rumah mungkin satu-satunya pilihan yang
tersedia, dan bahkan wanita itu mungkin atau tidak dapat dibantu oleh
tenaga professional, dan mungkin yang ada hanya dukun atau bahkan
menolong sendiri tanpa bantuan siapapun. Saat ini di luarnegeri dan di
perkotaan yang notabenenya akses ibu terhadap pelayanan kesehatan mudah
dan terjangkau justru menginginkan untuk mendapatkan pelayanan
homebirth. Hal ini terjadi mungkin karena mereka menyadari bahwa banyak
sekali intervensi yang akan mereka terima ketika mereka memutuskan untuk
bersalin di pelayanan kesehatan. Dan mereka merasa akan lebih nyaman
apabila bersalin dirumah sendiri dan didukung oleh orang-orang
tercintanya. Memang hal ini sah-sah saja karena proses persalinan adalah
free will fre choice hanya saja untuk mendapatkan pelayanan home birth
yang baik dan berkualitas tinggi mustinya harus tetap disiapkan,
diupayakan dan didampingi oleh tenaga medis professional yang sudah
terlatih.
Keamanan melahirkan di rumah telah
menjadi subyek kontroversi, terutama antara kelompok dokter
professional. Namun sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa
keselamatan melahirkan di rumah bagi perempuan berisiko rendah adalah
sama dengan risiko melahirkan di rumah sakit atau klinik bersalin(1,2).
The American Medical Association And American College of Obstetricians
And Gynecologists menentang melahirkan di rumah atas dasar bahwa
tampaknya melahirkan dirumah sangatlah rumit dan masih bisa berpotensi
menjadi darurat medis, dan mereka menyatakan bahwa melahirkan di rumah
lebih memprioritaskan untuk membuat pengalaman melahirkan lebih besar
dari keselamatan (3,4).
Sebanyak 43 persen tempat bersalin ibu masih di rumah. Persalinan ini
lebih berisiko bagi kesehatan ibu melahirkan dan bayinya. Hingga kini,
tingginya angka kematian ibu masih menjadi masalah besar di Indonesia.Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010, persalinan di rumah berarti bukan di fasilitas kesehatan, polindes, atau poskesdes. Sebesar 51,9 persen persalinan di rumah dibantu bidan, 40 persennya dibantu dukun.
”Di Indonesia, dukun menjadi mitra dalam persalinan. Persalinan jangan di rumah dan harus ditolong bidan,” ujar Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti pada lokakarya ”Pelayanan Kebidanan” yang diadakan Kementerian Kesehatan, pekan lalu.
Ali Ghufron mencontohkan, di Singapura, melahirkan di klinik pun dilarang. Di Malaysia, melahirkan dengan bantuan dukun tak lagi dibolehkan.
Penelitian Women Research Institute di tujuh kabupaten tahun 2009, kepercayaan masyarakat masih tinggi terhadap dukun beranak serta berbagai mitos seputar kehamilan, perempuan hamil, dan prosesi kelahiran. Proses melahirkan pun masih dianggap proses alami yang bisa dilakukan alami.
Walaupun di sejumlah negara Eropa, seperti Belanda, muncul tren melahirkan di rumah, Ali Ghufron menyarankan perempuan jangan melahirkan di rumah. Hal itu dilatarbelakangi tingginya angka kematian ibu di Indonesia, yakni 228 per 100.000 kelahiran hidup (Survei Demografi Kesehatan Indonesia, 2007). Angka ini 3-6 kali lebih besar dibandingkan negara lain di ASEAN.
Persoalan lain
Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi mengatakan, persalinan di rumah merupakan cermin kompleksnya persoalan, tak semata dimensi kesehatan. ”Di Nusa Tenggara Timur, keputusan tempat melahirkan tak sepenuhnya di tangan perempuan, tapi keluarga laki-laki,” ujarnya.
Hambatan budaya itu berkelindan dengan rentetan masalah besar lain, yakni ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, kemiskinan, ketersediaan transportasi, dan jarak. Berbagai daerah mengalami kompleksitas masalah itu.
Menurut dia, tingginya persalinan di rumah juga gambaran belum adanya perspektif hak asasi manusia dalam pembangunan. Setidaknya, ada empat indikator keberadaan perspektif hak asasi manusia itu, yakni ketersediaan pelayanan dasar; keterjangkauan fisik, ekonomi, ketiadaan diskriminasi, dan keadilan informasi; kualitas pelayanan dan sumber daya manusia; serta fleksibilitas dalam arti kebijakan dapat diterima secara budaya dan konteks masyarakat.
Program pemerintah juga harus membantu perempuan mengatasi hambatan nyata, di antaranya soal anggaran.
0 komentar:
Posting Komentar