Selasa, 07 Agustus 2012

Home Birth, Aman kah?

Home birth artinya persalinan yang dilakukan di rumah, bukan di rumah sakit, bukan di rumah bersalin atau di tempat praktek bu bidan. Di Indonesia masih banyak home birth apalagi di pedesaan dimana di daerah itu untuk pergi ke RS atau ke tempat pelayanan kesehatan sulit. Biasanya bidan atau dukun di panggil untuk membantu pertolongan persalinan. Nah biasanya metode yang digunakan adalah persalinan alami. Tentu saja begitu karena biasanya yang menolong adalah bidan dan dukun, bagaimana caranya mereka akan berusaha mengupayanan proses persalinan berlangsung sealami mungkin.

Di Negara berkembang , di mana perempuan mungkin tidak mampu membayar biaya perawatan medis atau tidak dapat mengaksesnya, melahirkan di rumah mungkin satu-satunya pilihan yang tersedia, dan bahkan wanita itu mungkin atau tidak dapat dibantu oleh tenaga professional, dan mungkin yang ada hanya dukun atau bahkan menolong sendiri tanpa bantuan siapapun. Saat ini di luarnegeri dan di perkotaan yang notabenenya akses ibu terhadap pelayanan kesehatan mudah dan terjangkau justru menginginkan untuk mendapatkan pelayanan homebirth. Hal ini terjadi mungkin karena mereka menyadari bahwa banyak sekali intervensi yang akan mereka terima ketika mereka memutuskan untuk bersalin di pelayanan kesehatan. Dan mereka merasa akan lebih nyaman apabila bersalin dirumah sendiri dan didukung oleh orang-orang tercintanya. Memang hal ini sah-sah saja karena proses persalinan adalah free will fre choice hanya saja untuk mendapatkan pelayanan home birth yang baik dan berkualitas tinggi mustinya harus tetap disiapkan, diupayakan dan didampingi oleh tenaga medis professional yang sudah terlatih.
Keamanan melahirkan di rumah telah menjadi subyek kontroversi, terutama antara kelompok dokter professional. Namun sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa keselamatan melahirkan di rumah bagi perempuan berisiko rendah adalah sama dengan risiko melahirkan di rumah sakit atau klinik bersalin(1,2). The American Medical Association And American College of Obstetricians And Gynecologists menentang melahirkan di rumah atas dasar bahwa tampaknya melahirkan dirumah sangatlah rumit dan masih bisa berpotensi menjadi darurat medis, dan mereka menyatakan bahwa melahirkan di rumah lebih memprioritaskan untuk membuat pengalaman melahirkan lebih besar dari keselamatan (3,4).
Sebanyak 43 persen tempat bersalin ibu masih di rumah. Persalinan ini lebih berisiko bagi kesehatan ibu melahirkan dan bayinya. Hingga kini, tingginya angka kematian ibu masih menjadi masalah besar di Indonesia.
Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2010, persalinan di rumah berarti bukan di fasilitas kesehatan, polindes, atau poskesdes. Sebesar 51,9 persen persalinan di rumah dibantu bidan, 40 persennya dibantu dukun.
”Di Indonesia, dukun menjadi mitra dalam persalinan. Persalinan jangan di rumah dan harus ditolong bidan,” ujar Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti pada lokakarya ”Pelayanan Kebidanan” yang diadakan Kementerian Kesehatan, pekan lalu.
Ali Ghufron mencontohkan, di Singapura, melahirkan di klinik pun dilarang. Di Malaysia, melahirkan dengan bantuan dukun tak lagi dibolehkan.
Penelitian Women Research Institute di tujuh kabupaten tahun 2009, kepercayaan masyarakat masih tinggi terhadap dukun beranak serta berbagai mitos seputar kehamilan, perempuan hamil, dan prosesi kelahiran. Proses melahirkan pun masih dianggap proses alami yang bisa dilakukan alami.
Walaupun di sejumlah negara Eropa, seperti Belanda, muncul tren melahirkan di rumah, Ali Ghufron menyarankan perempuan jangan melahirkan di rumah. Hal itu dilatarbelakangi tingginya angka kematian ibu di Indonesia, yakni 228 per 100.000 kelahiran hidup (Survei Demografi Kesehatan Indonesia, 2007). Angka ini 3-6 kali lebih besar dibandingkan negara lain di ASEAN.
Persoalan lain
Ketua Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi mengatakan, persalinan di rumah merupakan cermin kompleksnya persoalan, tak semata dimensi kesehatan. ”Di Nusa Tenggara Timur, keputusan tempat melahirkan tak sepenuhnya di tangan perempuan, tapi keluarga laki-laki,” ujarnya.
Hambatan budaya itu berkelindan dengan rentetan masalah besar lain, yakni ketersediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan, kemiskinan, ketersediaan transportasi, dan jarak. Berbagai daerah mengalami kompleksitas masalah itu.
Menurut dia, tingginya persalinan di rumah juga gambaran belum adanya perspektif hak asasi manusia dalam pembangunan. Setidaknya, ada empat indikator keberadaan perspektif hak asasi manusia itu, yakni ketersediaan pelayanan dasar; keterjangkauan fisik, ekonomi, ketiadaan diskriminasi, dan keadilan informasi; kualitas pelayanan dan sumber daya manusia; serta fleksibilitas dalam arti kebijakan dapat diterima secara budaya dan konteks masyarakat.
Program pemerintah juga harus membantu perempuan mengatasi hambatan nyata, di antaranya soal anggaran.

0 komentar:

Posting Komentar

Featured

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Web Hosting